top of page

Nostalgia: Cari Tempat PKL (Bagian 1)

  • Writer: Mutia Rabbani
    Mutia Rabbani
  • Sep 12, 2016
  • 3 min read

Bagi para mahasiswa dan mahasiswi, khususnya kampus swasta. Saya kasih bocoran aja ya. Bocoran mengenai kelamnya mencari tempat PKL hehe.

Setelah bulan Agustus 2014 sekaligus dihiasi dengan lebaran Idul Fitri. Rasanya seperti menenggak kopi Americano di Starbucks. Rasanya uang THR tak ada manisnya lagi. Mau tahu karena apa? Pencarian tempat PKL.

Bagai mencari kerja. Mencari tempat untuk PKL dan meminta nilai saja susahnya minta ampun. Jujur saja, saya belum bergerak pada bulan Juli karena berbagai hal. Hitung-hitung mau me-refresh otak yang telah terkuras selama enam semester. Ditambah lagi dengan mengajar dan les privat anak sana-sini.

Bulan Agustus setelah liburan idul fitri 2014 barulah saya mendatangi sebuah harian umum nasional di kawasan Jakarta Barat yaitu Harian Umum Media Indonesia. Sebenarnya target untuk PKL itu di detik.com dan target kerja kelak di harian umum ini. Harus banyak persiapan untuk masuk Harian Umum Media Indonesia yang memang seleksinya cukup sulit. Namun, senior yang memberi motivasi untuk menerabas planning yang telah tersusun rapi.

“Kenapa gak langsung ke MI (Media Indonesia) aja sih Mo. Coba aja dulu,”

Setelah melalui pertimbangan berhari-hari, akhirnya datang lah ke MI untuk memberi berkas. Pihak Sumber Daya Manusia (SDM) sangat ramah dan memberikan janji untuk mengabari dengan jangka waktu yang disepakati yaitu satu minggu dimulai dari hari itu.

Seminggu berlalu. Entah mengapa, telepon genggam bertombol qwerty yang selama ini sudah menemani tiba-tiba tidak berfungsi seluruh keypad-nya. Sedangkan besok pihak MI berjanji untuk memberikan kabar kepastian. Gara-gara si qwerty ini, kabar yang harusnya segera diterima jadi ulur satu minggu lagi. Terpaksa saya menelepon pihak MI . Jujur saya merasa ribet karena ada operator dan kebetulan saya tidak tahu nomor ekstensi SDM. Sampai-sampai saya tersasar menelepon ke Metro TV.

Setelah ditelepon, ternyata memang pihak SDM belum memberikan kabar. Kabar memang baru diberikan dua minggu setelah kunjungan saya ke sana, ditotal jadi dua minggu. Jika ditotal sebenarnya, nyaris tiga minggu. Minggu ketiga pihak MI menelepon tapi sinyal kosan yang %^$&^ memang tidak mendukung. Akhirnya pihak SDM dari MI mengirimkan pesan singkat panjang lebar dan intinya, saya ditolak.

Ditolak dengan alasan perubahan kompartemen yang membuat saya sesak. Apa itu kompartemen? Saya juga tidak tahu apa itu kompartemen (saat itu). Kesimpulannya saya ditolak. Karena tidak ada shower di kamar mandi kosan, saya hanya bisa meluapkan kecekewaan dengan menulis puisi di notes Blackberry, bertolak belakang ya? Mohon jangan dipertanyakan lagi. Akhirnya saya putuskan membuat lamaran untuk detik.com. Berhubung lokasi redaksi portal berita kenamaan itu nun jauh dan panas di sana, saya pending dan dialihkan ke Koran Tempo.

Akhirnya diuruslah surat dari kampus dengan percaya diri akan diterimanya di Koran Tempo. Pihak sekretariat fakultas memberi tahu bahwa surat baru dapat diambil besok. Ya sudah, saya berangkat saja ke Koran Tempo tanpa surat kampus. Berangkat naik Koantas Bima 102 dan pulang jalan kaki. Sungguh, sesungguhnya saya mengiba kepada Allah dengan pulang berjalan kaki agar diterima oleh Koran Tempo. Ingat ini jadi malu sendiri.

Pihak Koran Tempo memang memberi nomor yang bisa dihubungi satu minggu kemudian. Saat waktunya tiba, saya telepon Koran Tempo. Katanya belum diproses. Dalam satu minggu saya telepon dua kali untuk mengingatkan mereka tentang saya yang terlunta-lunta. Tapi masih juga belum diproses.

Saatnya tiba, seorang teman bilang untuk melamar di institusi pemerintahan seperti Kemendikbud dan Kejaksaan Agung RI di bagian Media Massa. Saya memang orang setia dan tidak memberikan harapan palsu, maka saya telepon pihak Koran Tempo. Baru kali ini saya berbicara banyak dengan pihak SDM Koran Tempo, sebelumnya tak sampai satu menit.

Dia berkata, “Sebenarnya kamu belum ditolak atau pun diterima. Karena kamu belum ada surat PKL dari kampus. Saya gak bisa kasih berkas kamu ke atasan saya. Saya tidak bisa memutuskan,”

Inilah awal mula curhat panjang dengan Mas-Mas Koran Tempo. Disitu saya bercerita mengenai kampus yang mengharuskan mahasiswa memastikan kepada pihak tempat PKL seberapa besar kemungkinan diterima. Jika melihat dari realita yang ada, tidak semua tempat PKL bisa memberikan kepastian. Terkadang staf SDM sebenarnya tidak mau menerima, tapi menggunakan alasan rumit.

Emosi sudah diubun-ubun. Wafatnya 2014 sudah menghitung bulan. Akhirnya saya mundur dari Koran Tempo karena memang percuma. Walaupun dengan memberikan surat PKL, Koran Tempo belum tentu menerima mahasiswa PKL. Kebutuhan wartawan tergantung momen-momen tertentu, itu katanya.

Comments


Recent Posts
!

© 2023 by Name of Site. Proudly created with Wix.com

bottom of page